Kamu pernah bilang, love is fight.
Cinta adalah perang menaklukkan hati wanita. Setelah hatinya kau dapatkan, lalu
kau tinggalkan begitu saja, berharap dia akan memburumu hingga kau merasa bahwa
kau adalah segalanya buat mereka.
Aku dulu pernah mengejekmu soal ini. Dan mungkin aku satu satunya cowo yang sulit kau taklukkan. Tapi itulah kesombonganku. Tanpa sadar, secara pelan dan perlahan aku mulai jatuh dalam siklus cinta yang kau buat. Kau menenggelamkan aku kedasar jurang terdalam hingga aku sulit menemukan jalan keluar buat diriku sendiri. Aku seperti terhipnotis oleh daya tarik cinta yang kau tawarkan. Dan tanpa sadar aku tak menyisakan sedikit hati meski itu untukku sendiri.
Lama aku sadari aku terjerat terlalu jauh kedalamnya. Aku seakan tersesat. Tapi aku bahagia, karena ada kau disana. Dengan segala cinta, perhatian, kasih sayang tanpa amarah, dan akupun terlena dibuatnya.
Tapi kebahagiaan itu ternyata hanya sesaat. Seperti katamu. Cinta adalah menaklukkan hati wanita. Dan aku telak tertipu oleh pikat dayamu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku menyesali kebodohanku. Aku tak bisa menyalahkanmu, karena aku yang menginginkan diriku terjerat. Aku membiarkan hatiku menerima setiap hidangan cinta yang kau hadirkan. Dan bodohnya, aku malah mengikuti semua aturan yang kau buat. Sampai-sampai apapun yang kau minta dengan rela aku ikuti.
Aku ingat, pertama kali saat kau bilang tak bisa menjalani masa depan denganku, padahal sebelumnya kita tak pernah ada masalah. Aku kaget bukan kepalang. Aku merasa dunia seperti mau runtuh. Aku sudah menduga sebelumnya ini bakal terjadi, dari sikapmu, caramu berbicara yang tiba-tiba sering diam tak memperhatikan arah pembicaraan. Tapi bagiku saat itu terlalu mendadak. Dan kata perpisahan itu membuatku ambruk seketika. Aku yang sakit, aku yang lemah, telak terkapar seolah kehilangan separuh nyawa. Berhari-hari aku kembali menata hati, bersikap tegar namun hatiku sedih. Berlagak senyum namun air mataku mengalir. Lama aku baru bisa menetralisir hatiku kembali. Dan aku saat itu, meski tak bisa 100 % tanpamu, setidaknya masih bisa melihat senyummu di dinding kamarku, sudah mampu menghapus sedikit rindu akan hadirmu.
Lalu, setelah semua senyum itu kembali, kau kembali hadir dengan tawaran cinta baru. Aku sama sekali tak menolak saat itu, karena jujur, sulit melupakanmu. Mungkin bukan karena aku tak bisa. Tapi memang karena aku tak mau. Saat itu, aku hanya ingin memberimu kesempatan. Inilah awal kehancuranku berikutnya.
Ternyata tawaran cinta itu hanya melambungkanku sesaat. Ternyata tak banyak yang berubah dari dirimu karena kau memang pejuang cinta. Bagimu, menetap disatu hati adalah penjara hidup. Dan aku kembali sakit saat kau putuskan aku dan bilang aku sudah mempunyai tunangan. Telak didasar hati. Sakit ini merubah sifatku jadi benci. Ya. Aku benci. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bisa membencimu. Kacau sekali.
Meski sakit ini tak terperih, aku masih bisa menawarkan senyum untukmu. Bilang tak sakit padahal aku sakit. Bilang tak cemburu padahal lukaku pilu. Pernah, aku ingin sekali tak mau bergantung lagi pada rasa ini. Cukuplah sudah. Aku capek dan aku lelah. Tapi apa yang kudapat ? Aku malah kehilanganmu. Tak lagi menemukan jejakmu.
Pernah kusesali keputusan terakhirku. Tak ada jalan keluar setelah itu. Karena kita tak pernah lagi saling menyapa. Tak pernah lagi berkata "hai". Tak pernah lagi saling memberi kabar. Beberapa kali aku mendapati air mataku mengalir panas bila rindu ini menghentak. Sering kali aku masih saja membuka tulisan tulisan statusmu dijejaring sosial yang kau buat. Dan aku masih saja berharap, jika saat itu kau mau memaafkanku, akan kulakukan apapun maumu.
Tapi, satu kata darimu membuatku tersentak. "Hari ini, untuk pertama kali melihatnya menangis, aku sudah bisa tersenyum. And Iam happy with that..!" Bodoh.. dasar bodoh... Dan akupun meradang. Aku memaki setiap kebodohanku. Menyesali setiap air mata yang keluar dari pipiku. Menyesali setiap penantian bodoh itu. Dan aku berjanji dalam hati untuk membencimu. Tak mau tau lagi tentangmu. Kita Sudah Berakhir. Finished.
Berhari-hari aku menanam kebencian dihatiku. Tak ada lagi fotomu didinding kamarku. Tak ada lagi pesan yang tertinggal di HP ku. Tak ada lagi apapun tentangmu disetiap jejaring sosialku. Dan semua kenangan tentangmu tlah kuhapus sudah. Aku tak mau ingat lagi. Dan aku berhasil.
I will not fall for you again. Never, even someday you ask me back...!
Malam saat aku merasa bahwa tak ada bintang yang setia menemaniku seperti biasa, namun kini aku menemukan banyak bintang disetiap gurauan sahabat-sahabatku.
Lalu, saat fajar menjemput pagi, aku tergugu saat berpikir bahwa pagi tak akan cerah tanpamu. Namun ternyata pagi akan selalu bersinar meski tak ada kau yang menjadi mentarinya.
Kemudian, saat senja merah saga itu beranjak meninggalkan matahari yang perlahan meredup. Aku masih bisa tersenyum, masih bisa berharap bahwa suatu saat, saat semua siklus waktu ini berputar kembali, aku takkan lagi berada disudut kamar gelap itu, mengurai air mata untuk menangisi seorang "kau".
Dan saat semua itu berlalu, aku ingin semua kepedihan itu tak lagi menjadi kebencian. Tapi dia adalah kenangan. Meski tak indah tapi aku pernah bahagia. Meski sesaat.
Sekarang ini, aku adalah aku yang bahagia.. Tanpamu.. tentu saja !!
Aku dulu pernah mengejekmu soal ini. Dan mungkin aku satu satunya cowo yang sulit kau taklukkan. Tapi itulah kesombonganku. Tanpa sadar, secara pelan dan perlahan aku mulai jatuh dalam siklus cinta yang kau buat. Kau menenggelamkan aku kedasar jurang terdalam hingga aku sulit menemukan jalan keluar buat diriku sendiri. Aku seperti terhipnotis oleh daya tarik cinta yang kau tawarkan. Dan tanpa sadar aku tak menyisakan sedikit hati meski itu untukku sendiri.
Lama aku sadari aku terjerat terlalu jauh kedalamnya. Aku seakan tersesat. Tapi aku bahagia, karena ada kau disana. Dengan segala cinta, perhatian, kasih sayang tanpa amarah, dan akupun terlena dibuatnya.
Tapi kebahagiaan itu ternyata hanya sesaat. Seperti katamu. Cinta adalah menaklukkan hati wanita. Dan aku telak tertipu oleh pikat dayamu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku menyesali kebodohanku. Aku tak bisa menyalahkanmu, karena aku yang menginginkan diriku terjerat. Aku membiarkan hatiku menerima setiap hidangan cinta yang kau hadirkan. Dan bodohnya, aku malah mengikuti semua aturan yang kau buat. Sampai-sampai apapun yang kau minta dengan rela aku ikuti.
Aku ingat, pertama kali saat kau bilang tak bisa menjalani masa depan denganku, padahal sebelumnya kita tak pernah ada masalah. Aku kaget bukan kepalang. Aku merasa dunia seperti mau runtuh. Aku sudah menduga sebelumnya ini bakal terjadi, dari sikapmu, caramu berbicara yang tiba-tiba sering diam tak memperhatikan arah pembicaraan. Tapi bagiku saat itu terlalu mendadak. Dan kata perpisahan itu membuatku ambruk seketika. Aku yang sakit, aku yang lemah, telak terkapar seolah kehilangan separuh nyawa. Berhari-hari aku kembali menata hati, bersikap tegar namun hatiku sedih. Berlagak senyum namun air mataku mengalir. Lama aku baru bisa menetralisir hatiku kembali. Dan aku saat itu, meski tak bisa 100 % tanpamu, setidaknya masih bisa melihat senyummu di dinding kamarku, sudah mampu menghapus sedikit rindu akan hadirmu.
Lalu, setelah semua senyum itu kembali, kau kembali hadir dengan tawaran cinta baru. Aku sama sekali tak menolak saat itu, karena jujur, sulit melupakanmu. Mungkin bukan karena aku tak bisa. Tapi memang karena aku tak mau. Saat itu, aku hanya ingin memberimu kesempatan. Inilah awal kehancuranku berikutnya.
Ternyata tawaran cinta itu hanya melambungkanku sesaat. Ternyata tak banyak yang berubah dari dirimu karena kau memang pejuang cinta. Bagimu, menetap disatu hati adalah penjara hidup. Dan aku kembali sakit saat kau putuskan aku dan bilang aku sudah mempunyai tunangan. Telak didasar hati. Sakit ini merubah sifatku jadi benci. Ya. Aku benci. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bisa membencimu. Kacau sekali.
Meski sakit ini tak terperih, aku masih bisa menawarkan senyum untukmu. Bilang tak sakit padahal aku sakit. Bilang tak cemburu padahal lukaku pilu. Pernah, aku ingin sekali tak mau bergantung lagi pada rasa ini. Cukuplah sudah. Aku capek dan aku lelah. Tapi apa yang kudapat ? Aku malah kehilanganmu. Tak lagi menemukan jejakmu.
Pernah kusesali keputusan terakhirku. Tak ada jalan keluar setelah itu. Karena kita tak pernah lagi saling menyapa. Tak pernah lagi berkata "hai". Tak pernah lagi saling memberi kabar. Beberapa kali aku mendapati air mataku mengalir panas bila rindu ini menghentak. Sering kali aku masih saja membuka tulisan tulisan statusmu dijejaring sosial yang kau buat. Dan aku masih saja berharap, jika saat itu kau mau memaafkanku, akan kulakukan apapun maumu.
Tapi, satu kata darimu membuatku tersentak. "Hari ini, untuk pertama kali melihatnya menangis, aku sudah bisa tersenyum. And Iam happy with that..!" Bodoh.. dasar bodoh... Dan akupun meradang. Aku memaki setiap kebodohanku. Menyesali setiap air mata yang keluar dari pipiku. Menyesali setiap penantian bodoh itu. Dan aku berjanji dalam hati untuk membencimu. Tak mau tau lagi tentangmu. Kita Sudah Berakhir. Finished.
Berhari-hari aku menanam kebencian dihatiku. Tak ada lagi fotomu didinding kamarku. Tak ada lagi pesan yang tertinggal di HP ku. Tak ada lagi apapun tentangmu disetiap jejaring sosialku. Dan semua kenangan tentangmu tlah kuhapus sudah. Aku tak mau ingat lagi. Dan aku berhasil.
I will not fall for you again. Never, even someday you ask me back...!
Malam saat aku merasa bahwa tak ada bintang yang setia menemaniku seperti biasa, namun kini aku menemukan banyak bintang disetiap gurauan sahabat-sahabatku.
Lalu, saat fajar menjemput pagi, aku tergugu saat berpikir bahwa pagi tak akan cerah tanpamu. Namun ternyata pagi akan selalu bersinar meski tak ada kau yang menjadi mentarinya.
Kemudian, saat senja merah saga itu beranjak meninggalkan matahari yang perlahan meredup. Aku masih bisa tersenyum, masih bisa berharap bahwa suatu saat, saat semua siklus waktu ini berputar kembali, aku takkan lagi berada disudut kamar gelap itu, mengurai air mata untuk menangisi seorang "kau".
Dan saat semua itu berlalu, aku ingin semua kepedihan itu tak lagi menjadi kebencian. Tapi dia adalah kenangan. Meski tak indah tapi aku pernah bahagia. Meski sesaat.
Sekarang ini, aku adalah aku yang bahagia.. Tanpamu.. tentu saja !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar